Pengadilan Perlu Ikut Menyukseskan Program Kemudahan Berusaha
Surabaya – Humas: Bertempat di Hotel Wyndham, tanggal 26 November 2021, Mahkamah Agung mengadakan sosialisasi dan monitoring evaluasi (monev) implementasi kemudahan berusaha pada peradilan. Pengadilan memiliki peran penting dalam mewujudkan kemudahan berusaha, karena apapun aturannya, semua rencana dan agenda reformasi kemudahan berusaha harus tercermin di lapangan, ungkap Wakil Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Kemudahan Berusaha Mahkamah Agung RI, YM Syamsul Maarif, S.H., L.L.M, Ph.D., ketika membuka acara.
Peserta sosialisasi dan monev adalah para Ketua pengadilan beserta jajaran dari tiga lingkungan peradilan yakni, peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara di seluruh Indonesia. Kegiatan ini berlangsung secara hybrid, sebagian peserta mengikuti secara luring dan sebagian lainnya mengikuti secara daring.
Sosialisasi dan monev ini menindaklanjuti hasil survei Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atas kemudahan berusaha terkait indikator penegakan kontrak melalui gugatan sederhana dan penyelesaian perkara kepailitan di 34 provinsi.
Secara umum, Ir. Dendy Apriandi, Direktur Deregulasi Penanaman Modal Keminves/BPKM menjelaskan bahwa kewenangan BKPM untuk berperan aktif dalam peningkatan peringkat kemudahan berusaha berasal dari Instruksi Presiden Nomor 7/2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha. Selanjutnya Dendy juga menjelaskan bahwa Presiden menginstruksikan agar dilakukan langkah-langkah peningkatan agar peringkat Indonesia dalam Ease of Doing Business (EoDB) bisa berada di bawah 40 pada tahun 2024.
Berdasarkan hasil survei Kemenves/BKPM, biaya perkara serta jangka waktu pendaftaran perkara, persidangan, dan eksekusi putusan melalui lelang publik, relatif bervariasi. Di samping itu, hasil survei tersebut juga menunjukkan pada 24 provinsi, masih terdapat pengadilan yang meminta kepada para pihak menyerahkan berkas perkara dalam bentuk cetak dan bukti transfer pembayaran biaya perkara yang terdaftar secara elektronik, terang Pak Dendy.
Dua tahun terakhir, 2019 dan 2020, Indonesia menempati peringkat 73 dari 190 negara. Peringkat tersebut mencerminkan kinerja Indonesia dalam 10 topik indikator kemudahan berusaha.
Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) memiliki peran dalam mewujudkan reformasi kemudahan berusaha yang berkaitan dengan indikator tentang enforcing contracts (penyelesaian perkara wanprestasi melalu jalur pengadilan), resolving insolvency (penyelesaian perkara kepailitan), dan getting credit (akses memperoleh pinjaman menggunakan jaminan benda bergerak), jelas Brigjen TNI Dr. Aruji Anwar, Asdep Koordinasi Hukum Internasional Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.
YM Syamsul Maarif dalam materinya menyampaikan beberapa aspek yang masih menghambat naiknya peringkat Indonesia dalam indeks EoDB. Beliau menyebutkan bahwa WBG mensurvei penanganan perkara dengan nilai kontrak maksimal 116 juta rupiah. Seharusnya jangka waktu penyelesaian perkara tersebut tidak bervariasi karena masuk kategori gugatan sederhana sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019, yang harus selesai dalam jangka waktu 25 hari kerja sejak sidang pertama, ungkap beliau.
Di samping itu, beliau juga menyampaikan ketika para pihak mendaftarkan perkara secara elektronik, para pihak tidak perlu datang ke pengadilan menyerahkan berkas perkara manual dan bukti transfer biaya perkara. Dengan arahan Pimpinan Mahkamah Agung, Pokja kemudahan berusaha terus berupaya mengatasi keterbatasan dalam penanganan perkara secara elektronik, termasuk pemanggilan secara elektronik (e-summons), tambahnya.
Sementara itu, Dr. Joni, S.H., M.H., Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, dalam materinya memaparkan bahwa di antara kendala penerapan gugatan sederhana dan e-court adalah masih ada penyelesaian perkara yang tidak tepat waktu serta keterbatasan pemahaman aparatur peradilan dan juga infrastruktur. Sedangkan kendala dalam penerapan sidang elektronik (e-litigation) adalah ketidakhadiran pihak tergugat dan ada beberapa oknum kuasa hukum yang masih enggan bersidang secara elektronik, terangnya.
Lebih dari 700 orang peserta, baik yang hadir secara fisik maupun virtual, terlihat antusias mengikuti kegiatan sosialisasi dan monev hingga akhir. Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama Mahkamah Agung, Menkopolhukam, BKPM, dan tim asistensi pembaharuan Mahkamah Agung, ungkap Emie Yuliati, Kasubbag Bimbingan dan Monitoring Penyelenggaraan Program Biro Perencanaan dan Organisasi Mahkamah Agung RI.
Dalam Kategori: Berita MA
Beri tanggapan (0)